Demokrasi Dalam Kabut Media: Merayakan Kebebasan tapi Menutup Kesadaran | kln.or.id

Demokrasi Dalam Kabut Media: Merayakan Kebebasan tapi Menutup Kesadaran

Gambar Artikel

Sabtu sore yang tampak biasa di sebuah kedai kopi lokal, OIA Coffee, justru menjadi saksi bisu dari percakapan yang luar biasa. Sejumlah anak muda dan pegiat komunitas duduk melingkar, bukan untuk sekadar menyeruput kopi, melainkan menggali realitas yang lebih dalam tentang demokrasi, media, dan peran kita sebagai warga negara. Diskusi publik bertajuk “Demokrasi Dalam Kabut Media” yang digelar Komunitas Katalis menjadi ruang perenungan kolektif tentang bagaimana informasi, sesuatu yang tampak sepele bisa mengubah arah demokrasi itu sendiri.

Dalam diskusi itu, mencuat kegelisahan bersama tentang bagaimana media tak lagi sepenuhnya netral. Alih-alih menjadi penuntun informasi, banyak media kini justru menjadi alat kekuasaan. Kita dihadapkan pada pemandangan di mana algoritma digital bekerja secara diam-diam, mengarahkan apa yang harus kita lihat, pikirkan, bahkan rasakan. Di balik layar, kekuatan besar beroperasi, konglomerasi media, kepentingan politik, hingga komersialisasi narasi. Demokrasi tak lagi semata-mata berbicara soal pemilu atau kebebasan memilih, tetapi juga tentang siapa yang mengendalikan informasi yang sampai ke ruang kesadaran kita.

Para peserta diskusi tidak hanya diam dan mengangguk. Mereka menyampaikan pandangan kritis, mengulas bagaimana media hari ini tak jarang justru menumpulkan kesadaran publik. Dalam banyak kasus, jurnalisme investigatif dibungkam, informasi diseret menjadi alat framing, dan masyarakat hanya menjadi penonton pasif dalam panggung demokrasi yang seharusnya mereka mainkan. Dalam suasana seperti ini, kesadaran akan pentingnya literasi kritis muncul sebagai cahaya kecil di tengah kabut yang menebal.

Literasi kritis tidak sekadar soal kemampuan membaca dan menulis. Ia adalah kemampuan untuk menyaring informasi, mengajukan pertanyaan, serta mengenali motif di balik narasi. Dalam dunia yang dibanjiri informasi, literasi kritis menjadi alat bertahan sekaligus kompas untuk tetap waras. Demokrasi tak akan sehat jika warganya hanya menerima informasi mentah-mentah tanpa keberanian untuk mengkritisi dan menggugatnya.

Diskusi hari itu menegaskan bahwa harapan selalu punya tempat, bahkan di tengah kabut. Literasi bukan sekadar kemampuan akademik, melainkan bentuk keberanian intelektual. Dari warung kopi hingga ruang kelas, dari media sosial hingga forum warga, kesadaran kritis harus terus dirawat. Karena hanya dengan begitu, kita bisa mengembalikan demokrasi kepada siapa ia seharusnya berpihak: rakyat.

Dipublikasikan pada 24 Jun 2025 20:58 WIB

Dipublikasikan oleh Dzikri Faizziyan

pengunjung: 105


Belum ada komentar.

Tinggalkan Komentar


Komunitas Literasi Nusantara